———————————
Hijab dalam Syariat Islam
Oleh: Rabiah Adhawiah Beik
Pendahuluan
Buah
nangka yang sudah dibelah, selain akan kehilangan cita rasa, aroma dan
keistimewaan yang dimiliki, juga tidak akan selamat dari serbuan lalat
dan serangga lainnya. Begitu juga dengan perempuan, ketika dia selalu
memamerkan kecantikan dan keindahan tubuhnya, laki-laki hidung belang
dan makhluk jenis ini akan segera datang untuk menikmatinya.[i] Dan Islam sebagai agama yang sempurna datang menawarkan solusinya.
Hijab
adalah sebuah proteksi yang dapat menjaga seorang wanita dari
pelecehan.. Hanya saja ungkapan semacam ini cakupannya sempit dan hanya
akan dimengerti dan diamalkan oleh mereka yang meyakini Islam. Sedang
bagi yang tidak meyakininya, terlebih mereka yang senantiasa mengusung
panji feminisme dan atribut-atribut semisalnya akan sangat sulit
menerima ungkapan di atas. Karena secara emosional penjagaan memberikan
konotasi defensif, sebuah perlawanan yang terpaksa dilakukan. Ini jelas
sulit diterima oleh kelompok-kelompok tadi yang selalu meneriakkan
yel-yel kebebasan (menurut asumsi mereka).
Atas
dasar ini, mungkin ungkapan yang sesuai dengan konteks kekinian adalah
pernyataan bahwa hijab adalah sebuah bentuk kasih sayang. Allah swt
menciptakan manusia dengan bentuk terbaik dan kaum hawa
merupakan cerminan terbaik dari hal tersebut. Namun, sebagaimana kita
saksikan di dunia nyata kecantikan dan keelokan setiap wanita berbeda
satu sama lain. Dari sini, apakah perempuan yang dikenal sebagai makhluk
yang penuh perasaan tidak akan tersentuh hatinya saat dikatakan
kepadanya: Tidakkah engkau merasa kasihan pada sesama
jenismu yang tidak memiliki keelokan seperti dirimu? Tidakkah engkau
merasa iba terhadap mereka yang kehilangan cinta dan kasih sayang
suaminya karena penampakan tubuhmu?
Agama
Islam selain agama yang penuh kasih, juga merupakan agama yang paling
komplit; tidak ada sebuah perbuatan kecuali memiliki hukum tersendiri.
Begitu pula masalah hijab. Perlu diperhatikan, hijab (menutup aurat)
sudah ada pada agama-agama sebelum Islam, jadi hijab bukan inovasi agama
terakhir ini. Bahkan, lebih jauh lagi manusia pertama, Adam a.s. yang
pada saat itu belum memiliki syariat telah memahami bahwa penampakan
aurat adalah hal yang sangat buruk dan aurat tak seharusnya ditampakkan,
sebagaimana al-Qur’an menyebutnya dengan sau’at.[ii] Dalam kesempatan ini kita akan mencoba membahas pensyariatan hijab dalam Islam beserta batasan-batasannya.
Pensyariatan Hijab
Pensyariatan
hijab di dalam Islam, dapat ditetapkan dengan empat dalil; dalil
al-Quran, hadis, sirah (sejarah) dan akal. Masing-masing dari empat
dalil tersebut cukup bagi kita untuk menetapkan pensyariatan hijab bagi
kaum wanita.
1. Menurut al-Quran
Ayat
terpenting yang menetapkan kewajiban berhijab pada kaum wanita yang
akan kita bahas adalah ayat ke-31 surat an-Nur dan ayat ke-59 surat
al-Ahzab. Allah swt dalam surat an-Nur ayat ke 31 berfirman:
(Wahai Rasulullah) Dan katakanlah kepada kaum wanita yang beriman agar
mereka menahan pandangan mereka dan menjaga kemaluannya, dan janganlah
mereka menampakkan perhiasan mereka kecuali sesuatu yang (biasa) tampak
darinya. Hendaknya mereka menutupkan kerudung mereka ke dada mereka
(sehingga dada mereka tertutupi), janganlah menampakkan perhiasan mereka
kecuali untuk suami-suami mereka, atau ayah dari suami-suami mereka
atau putra-putra mereka, atau anak laki-laki dari suami-suami mereka,
atau saudara-saudara laki-laki mereka, anak laki-laki dari
saudara-saudara laki-laki mereka, atau anak laki-laki dari
saudara-saudara perempuan mereka, atau wanita-wanita mereka atau
budak-budak mereka atau laki-laki (pembantu di rumah) yang tidak
memiliki syahwat atau anak kecil yang tidak paham terhadap aurat wanita.
Dan janganlah kalian mengeraskan langkah kaki kalian sehingga diketahui
perhiasan yang tertutupi (gelang kaki). Wahai orang-orang yang beriman
bertaubatlah kalian semua kepada Allah swt supaya kalian termasuk
orang-orang yang beruntung.[iii]
Para
ahli tafsir menyebutkan bahwa sebab turunnya ayat ini adalah sebuah
kisah yang dinukil dari Imam Muhammad Baqir a.s. Beliau bersabda: “Pada
satu hari, di kota Madinah ada seorang wanita cantik yang sedang
berjalan dengan mengikatkan kerudungnya ke telinganya (yang menjadi
kebiasaan wanita pada saat itu) sehingga tampak leher dan dadanya.
Seorang laki-laki dari golongan Anshar berpapasan dengannya, karena
kecantikan wanita tersebut dia terpesona dan tidak peduli akan keadaan
sekelilingnya, dia telah mabuk akan kemolekan wanita tersebut. Sang
wanita memasuki gang sempit, sedang pandangan laki-laki tersebut terus
membuntutinya sampai tak terasa dia terbentur sebuah benda keras dan
tajam sejenis tulang atau kayu yang menjorok dari tembok sehingga kepala
dan dadanya mengucurkan darah segar yang melumuri pakaiannya.Dalam
keadaan seperti itu dia datang menghadap Rasulullah saw dan menuturkan
semua yang terjadi. Pada saat itulah, malaikat Jibril a.s. datang
membawa ayat ini.”[iv]
Dalam ayat di atas kita mendapatkan kataابصار yang merupakan bentuk jamak dari kata بصر. Untuk memahami ayat tersebut secara mendalam, lazim bagi kita mengetahui perbedaan antara بصر dan عين.
Walaupun keduanya sama-sama dipakai untuk nama dari anggota tubuh
manusia yaitu mata, akan tetapi keduanya memiliki makna yang berbeda. عين hanya bermakna mata bukan penggunaannya, sedang بصر
memiliki makna mata dengan penggunaannya yang dalam bahasa Indonesia
kita sebut dengan pandangan. Kita perlu membahas perbedaan kedua kalimat
di atas untuk mengetahui bahwa maksud dari ayat di atas adalah menutup
pandangan bukan menutup mata (ان يغضضن من ابصارهن). Begitu juga dengan kata يغضضن yang bersumber dari غضي, kita harus mengetahui perbedaan dengan kata غمض; arti dari kata terakhir adalah menutup mata sedang غض adalah menundukkan pandangan.
Dari ayat di atas kita dapat menyimpulkan beberapa poin penting, di antaranya:
Ø Hendaknya kaum wanita menutup pandangan mereka dari pandangan yang penuh syahwat kepada laki-laki non muhrim.
Ø Wajib bagi kaum wanita menutupi auratnya dari laki-laki non muhrim.
Ø Wajib bagi kaum wanita menutupi badan dan perhiasan mereka.
Ø Diperbolehkan bagi kaum wanita untuk menampakkan badan dan perhiasan mereka di hadapan para muhrimnya.
Setelah
Allah swt memerintahkan kewajiban menutup pandangan kaum wanita dari
laki-laki non muhrim dan menutup aurat mereka dari pandangan orang lain,
Allah swt memerintahkan untuk menutupi perhiasan wanita. Mungkin
masalah menutup perhiasan merupakan masalah yang penting sehingga
disebutkan dua kali dalam satu ayat. Makna perhiasan juga sangat jelas
bagi kita yaitu setiap sesuatu yang menambah keindahan wanita dan
dipahami oleh masyarakat umum, seperti gelang, kalung, anting dan
lainnya. Perhiasan ini ada yang dapat dipisahkan dari badan wanita dan
ada yang tidak dapat dipisahkan dari badan seperti dandanan pada wajah seorang wanita atau perhiasan alami/natural seperti rambut wanita atau yang lain.
Contoh
larangan Allah swt terhadap penampakan perhiasan di awal-awal Islam
adalah larangan-Nya terhadap para wanita untuk memperlihatkan kakinya
ketika berjalan sehingga perhiasan yang tersembunyi (gelang kaki)
terdengar oleh non muhrim.[v] Di dalam
surat an-Nur juga tertera larangan Allah bagi kaum wanita untuk tidak
menampakkan perhiasan dengan pengecualian yaitu “kecuali yang sudah
tampak الا ما ظهر منها “. Dari
kalimat ini, kita dapat memahami bahwa perhiasan wanita ada dua macam,
perhiasan yang tampak dan yang tidak tampak (juga jika wanita secara
sengaja menampakkannya).
Para ahli tafsir berbeda pendapat satu sama lain dalam menjelaskan kalimat ini الا ما ظهر منها) (, dan memaknainya dengan makna yang beragam. Thabari dalam tafsirnya menyebut hampir dua puluh macam pendapat dari ungkapan الا ما ظهر منها .[vi] Di antaranya adalah:
- Baju luar wanita.
- Cincin, gelang dan gelang kaki.
- Celak, cincin dan pacar kuku.
- Wajah dan telapak tangan.
- Hanya wajah saja.
Oleh karena itu, dalam hal ini kita harus merujuk kepada Marja’ kita masing-masing untuk menentukan apa saja yang diperbolehkan terlihat.
Akan
tetapi, dari ayat di atas dan juga menurut kesepakatan para ahli fiqih
Islam, dapat disimpulkan bahwa haram memakai segala sesuatu yang menurut
uruf (tradisi) sebagai perhiasan di hadapan non muhrim seperti
gelang, kalung, anting, kaca mata, jam tangan (yang menurut tradisi
dianggap sebagai perhiasan), dandanan wajah dan tangan, kuku panjang
atau kuku yang diwarnai, gelang kaki, cincin, baju dan sepatu yang dari
segi warna, model, dan semacamnya dihitung sebagai perhiasan.[vii]
Ayat lain yang berisi larangan menunjukkan perhiasan adalah ayat ke 33 surat al-Ahzab. Dalam surat ini Allah swt berfirman: “…Dan diamlah kalian di rumah-rumah kalian dan janganlah kalian tunjukkan perhiasan kalian sebagaimana yang dilakukan di zaman jahiliyah.” Walaupun
pada dasarnya ayat ini ditujukan kepada istri-istri Rasulullah saw,
akan tetapi perintahnya juga mencakup semua wanita muslim. Oleh karena
itu, di akhir ayat ke-31 dari surat an-Nur dapat dipahami bahwa wanita
yang menunjukkan perhiasannya termasuk orang-orang yang berdosa, sehingga Allah swt memerintahkannya untuk bertaubat: “Wahai orang-orang yang beriman bertaubatlah kalian kepada Allah swt sehingga kamu termasuk orang-orang yang menang.”
Interpretasi dari penggalan ayat وليضربن بخمرهن علي جيوبهن adalah
bahwa al-Qur’an juga menjelaskan kepada kita tentang batasan hijab yang
diinginkan oleh Islam. Karena pada zaman dahulu, wanita-wanita jahiliah
memakai pakaian yang tidak menutupi leher dan dada. Oleh karenanya
Allah berfirman: “Dan tutuplah leher kalian dengan kerudung kalian”. Ibnu Abbas, dalam menafsirkan ayat tersebut mengatakan: ”Wanita hendaknya menutupi rambut, leher dan bawah dagu mereka.”[viii]
Maksud dari او نسائهن dari ayat di atas memiliki tiga kemungkinan:
v Mereka
adalah wanita muslim, maka maksudnya wanita non muslim tidak termasuk
muhrim dan wanita muslim wajib menutup auratnya di hadapan mereka.
v Mereka adalah wanita secara mutlak baik itu wanita muslim atau selain muslim.
v Maksud dari kata nisa’ itu adalah wanita-wanita yang berada di dalam rumah seperti para pembantu.
Ayatullah
Murthadha Muthahari menolak mentah-mentah makna yang ketiga, menganggap
lemah makna yang kedua dan meyakini bahwa makna yang pertama lebih
kuat. Karena makna pertama ini juga dikuatkan oleh beberapa riwayat yang
melarang wanita muslim untuk membuka auratnya di hadapan wanita-wanita
Yahudi dan Nasrani karena dikhawatirkan mereka akan menceritakan
kecantikan wanita muslim kepada suami atau saudara mereka.[ix]
Sedangkan kalimat او ما ملكت ايمانهن memiliki dua kemungkinan:
· Yang dimaksudkan oleh ayat tersebut adalah khusus budak perempuan.
· Budak secara mutlak, yang mencakup budak perempuan atau laki-laki.
Jika
kita merujuk pada berbagai riwayat, tampaknya pendapat kedua (budak
laki-laki dan perempuan) lebih kuat, seperti dalam suatu riwayat dari
Imam Shadiq as. Seseorang menceritakan kepada Imam Shadiq a.s. bahwa
orang-orang Madinah selalu mengirim budak-budak laki-laki mereka untuk
menemani istri-istri mereka pergi ke satu tempat dan terkadang ketika
istri-istri mereka ingin menunggangi kuda, mereka meminta bantuan budak
mereka dengan memegang pundaknya. Imam Shadiq a.s. ketika mendengar hal
ini menjawab: “Hal ini tidak dilarang berdasarkan ayat 55 surah
al-Ahzab.”[x]
Selanjutnya, dari kalimat التابعين غير اولي الاربة terlihat
jelas bahwa maksud dari kalimat tersebut adalah orang-orang gila dan
orang yang terbelakang secara mental yang tidak memiliki syahwat dan
tidak tertarik dengan keindahan wanita.[xi]
Adapun tentang anak kecil yang tidak tahu menahu tentang aurat wanita, memiliki dua penafsiran:
Pertama: anak-anak
kecil yang tidak tahu tentang perkara-perkara yang tersembunyi dari
seorang wanita dan biasa kita sebut anak kecil yang belum mumayyiz.
Kedua: anak-anak
kecil yang tidak mampu memanfaatkan perkara-perkara yang tersembunyi
dari seorang wanita dan bisa kita sebut anak kecil yang belum baligh.
Berkenaan dengan penggalan ayat ولا يضربن
wanita-wanita pada zaman dahulu biasanya memakai gelang kaki, dan
supaya gelang kaki mereka diketahui orang lain mereka mengeraskan
langkah mereka. Sebenarnya penggalan ayat ini ingin mengatakan bahwa
Allah melarang segala sesuatu yang menarik perhatian laki-laki non
muhrim, seperti memakai parfum yang wanginya dapat tercium orang lain
ataupun menghias wajah dan semua yang membuat hati laki-laki tergerak
dan menjadi pusat perhatian mereka.
Ayat lain yang menyinggung tentang pensyariatan hijab adalah ayat ke-59 surah Ahzab. Allah swt dalam ayat tersebut berfirman:
Wahai
Nabi, katakanlah kepada istri-istrimu dan anak-anak perempuanmu dan
kepada wanita-wanita mukmin agar mereka mendekatkan diri kepada mereka
dengan jilbab mereka supaya mereka mudah dikenal dan supaya mereka tidak
diganggu maka sesungguhnya Allah Maha mengampuni dan Maha Penyayang.
Berkenaan dengan kondisi turunnya ayat ini, dalam tafsir Ali bin Ibrahim al-Qumi disebutkan:
Pada
saat itu kaum wanita pergi ke masjid dan shalat di belakang Rasulullah.
Saat mereka menuju masjid untuk menunaikan shalat Magrib atau Isya’
para remaja nakal yang duduk di pinggir jalan, mengejek atau
mengolok-olok mereka. Lalu turunlah ayat ini[xii]
yang memerintahkan mereka memakai hijab sempurna supaya mereka dikenal
seutuhnya dan tidak ada alasan lagi untuk mengolok-olok mereka.[xiii]
Dalam ayat ini ada dua poin yang harus diperhatikan:
Pertama, apakah maksud dari jilbab yang disebutkan dalam ayat? Dan apakah maksud dari kalimat “hendaknya mereka mendekatkan diri dengannya”?
Kedua, apa maksud dari faedah perintah hijab yang dalam kalimat di atas disebutkan (agar mereka dapat dikenal dan tidak diganggu)? Namun karena poin kedua ini harus dibahas secara tersendiri dalam filsafat hijab, maka kami tidak akan mengulasnya.[xiv]
Menjawab
poin pertama merupakan hal yang terasa cukup sulit, karena terjadi
silang pendapat di antara para mufassir dan ahli bahasa. Ragib Isfahani
dalam kitabnya, Mufradat al-Fadzil Qur’an menyebutkan, jilbab adalah baju kurung dan kerudung.[xv]
Makna jilbab menurut para mufassir adalah sebagai berikut; pertama, kerudung panjang yang menutupi kepala (rambut) dan dada. Kedua, jilbab (kerudung biasa). Ketiga, baju yang besar. Namun titik temu dari semua arti di atas adalah kain yang dapat menutupi badan. Namun, mayoritas mufassir berkeyakinan bahwa maksud dari jilbab dalam ayat tersebut adalah kain yang lebih besar dari kerudung dan lebih kecil dari chadur, sebagaimana ditegaskan oleh penulis kitab Lisanul Arab.[xvi]
Kemudian, kata يدنين
di sini berarti memakai. Tidak di semua tempat kata ini berarti
demikian, kita harus melihat konteks kalimatnya sebagaimana dalam ayat
ini. Maksud dari kata يدنين
adalah agar para wanita mendekatkan jilbab mereka ke badan mereka
supaya dapat dikontrol, tidak terlalu besar sehingga terkadang
tersingkap[xvii] (jika tertiup angin atau lainnya).
2. Menurut Hadis
Banyak
hadis-hadis atau riwayat-riwayat yang membahas tentang hijab, oleh
karenanya perlu kita pilah-pilah dan kelompokkan riwayat-riwayat
tersebut dalam beberapa kategori.
a. Hadis tidak diwajibkannya menutup wajah dan telapak tangan
Mas’adah
bin Ziyad menukil dari Imam Ja’far Shadiq a.s. ketika beliau ditanya
tentang perhiasan yang boleh untuk ditampakkan, Imam menjawab:”Wajah dan
telapak tangan.”[xviii]
Mufaddhal
bin Umar bertanya kepada Imam Shadiq a.s. tentang wanita yang meninggal
di perjalanan dan di sana tidak ada laki-laki muhrim atau wanita yang
memandikannya. Imam menjawab: “Anggota-anggota tubuh yang wajib untuk
ditayamumi hendaklah dibasuh akan tetapi tidak boleh menyentuh badannya,
dan juga tidak boleh menampakkan kecantikan yang Allah wajibkan
untuk ditutupi. Mufaddhal bertanya kembali: “Bagaimana caranya?” Imam
menjawab: “Pertama membasuh bagian dalam telapak tangan, kemudian wajah
dan bagian luar tangannya.”[xix] Dari sini kita dapat memahami bahwa tangan dan wajah bukan termasuk anggota badan yang wajib untuk ditutupi.
Ali bin Ja’far ditanya tentang batasan seorang laki-laki dapat melihat wanita non muhrim, Imam menjawab: “Wajah, telapak tangan dan pergelangan tangan.”[xx]
Dalam hadis lain juga
disebutkan bahwa pada suatu hari Jabir bin Abdullah bersama Rasulullah
menuju rumah putrinya Sayyidah Fathimah. Sesampainya di pintu rumah,
Rasulullah mengucapkan salam dan meminta izin kepada putrinya untuk
masuk sambil memberitahukan bahwa dia bersama Jabir bin Abdullah.
Sayyidah Fathimah meminta beliau untuk menunggu sebentar karena pada
waktu itu beliau belum menutup rambutnya. Setelah Sayyidah Fathimah
menutup rambutnya, Rasulullah dan Jabir masuk ke rumah Sayyidah
Fathimah. Rasulullah melihat wajah putrinya pucat dan kekuning-kuningan,
kemudian bertanya mengapa hal ini terjadi. Sayyidah Fathimah menjawab
bahwa wajah pucatnya dikarenakan rasa lapar yang
menderanya. Mendengar hal itu Rasulullah langsung berdoa kepada Allah
agar menghilangkan rasa lapar yang diderita oleh putrinya.
Dari hadis di atas kita dapat mengambil dua kesimpulan: pertama, Sayyidah Fathimah tidak menutup wajahnya di hadapan laki-laki non muhrim. Kedua, tidak wajib menutup wajah di hadapan laki-laki non muhrim.
b. Hadis tentang diwajibkannya berhijab di hadapan Yahudi dan Nasrani
Imam
Shadiq a.s. bersabda: “Tidak dibenarkan seorang wanita muslim
menampakkan auratnya di hadapan wanita Yahudi dan Nasrani, karena mereka
akan menceritakan ciri-ciri jasmaninya kepada suami-suami mereka.”
c. Hadis tentang ciri-ciri dan waktu hijab
Imam Shadiq a.s. bersabda: “Bukan termasuk maslahat jika wanita memakai kerudung dan baju yang tipis.”
Amirul
Mukminin Ali bin Abi Thalib bersabda: “Selamat bagi kalian yang memakai
baju yang tebal, karena sebenarnya orang yang memakai baju yang tipis
maka imannya pun tipis.”
Imam
Shadiq a.s. bersabda: “Cukuplah sebagai tolok ukur kehinaan seseorang
ketika dia memakai baju yang menyebabkan kemasyhurannya.”
Imam
Shadiq bersabda: “Rasulullah Saw selalu melarang laki-laki untuk
menyerupai wanita dan melarang wanita untuk menyerupai laki-laki dalam
segi berpakaian.”
d. Hadis tentang balasan bagi mereka yang tidak berhijab
Rasulullah
saw bersabda: “Wanita yang di neraka menggantungkan dirinya dengan
rambutnya adalah wanita yang tidak menutup rambutnya di hadapan selain
muhrim.”
Rasulullah
saw bersabda: “Dua golongan penghuni Jahanam belum pernah aku lihat.
Kelompok yang disiksa dengan sebuah pecut (menyerupai ekor sapi). Kedua
para wanita yang berbusana namun telanjang (mereka yang mengenakan baju
tipis dan transparan)…”
Dengan melihat dan memperhatikan beberapa hadis di atas, maka jelaslah bagi kita bahwa Allah swt telah mewajibkan hijab bagi wanita muslimah.
3. Menurut Sirah (Sejarah) dan Akal
Untuk menetapkan kewajiban hijab bagi kaum wanita, kita juga bisa merujuk sirah kaum wanita muslimah pada zaman Rasulullah. Mereka selalu menutupi tubuh dan rambut mereka ketika berada di hadapan non muhrim, seperti yang kita lihat dari hadis tentang kedatangan Rasulullah bersama Jabir ke rumah Sayyidah Fathimah as.
Begitu
juga dengan akal manusia, akal manusia juga dapat membuktikan kewajiban
hijab bagi kaum wanita. Akal akan senantiasa memerintahkan segala
perbuatan yang membawa manfaat dan akan memerintahkan untuk melakukan
hal itu, begitu juga sebaliknya akal akan selalu memperingatkan manusia
dari hal-hal yang membahayakan manusia. [islamalternatif]
Mungkin perumpamaan ini tidak terlalu tepat, (qiyas ma’al fariq), namun yang jelas salah satu hikmah dari hijab adalah hal tersebut La Jidala fil misal.